UN : "PANAS" 3 TAHUN TERHAPUS UJ(I)AN 4 HARI
Ujian Nasional (UN) tingkat SLTP saat ini masih berlangsung mulai Senin, 27 April 2009 hingga Kamis, 30 April 2009. Di tengah penyelenggaraan UN, sampai saat ini masih banyak kalangan masyarakat dan pemerhati pendidikan menggugat kebijaksanaan UN. Seperti yang dilakukan Education Forum di Jakarta dalam diskusi "Mendesak Mahkamah Agung Putuskan Gugatan Korban Ujian Nasional" (Kompas,
Selain boros, alasan yang disampaikan bahwa UN dinilai melanggar hak-hak perkembangan anak dan menghina intelegensi anak didik. UN juga telah merenggut kreativitas dan kebebasan anak didik. Para pakar dan kalangan masyarakat yang menolak UN, menuntut pemerintah untuk menghapus pelaksanaan UN dan mematuhi amanat UU Sisdiknas dengan mengambalikan hak menentukan kelulusan pada otoritas guru dan satuan pendidikan.
Sebagai praktisi di lapangan saya pribadi mengamini beberapa argumen yang selama ini disampaikan berbagai kalangan tersebut. Tetapi saya pribadi tidak menolak adanya kebijakan UN tersebut sebagai salah satu bentuk penilaian pendidikan.
Menurut saya UN sebagai salah satu bentuk penilaian dimaksudkan pemerintah sebagai alat evaluasi pendidikan secara nasional. Sebenarnya niat pemerintah baik karena sebagai salah satu pemetaan keberhasilan pendidikan secara nasional. Hanya pelaksanaan UN di lapangan banyak terjadi anomali Banyak terjadi pelanggaran prinsip-prinsip obyektivitas, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara peraturan yang berlaku dengan pelaksanaannya.
Menurut Lampiran Permendiknas No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan poin G (5-6) dinyatakan:
Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri berdasarkan rekomendasi BSNP.
Dalam Permen tersebut jelas, sebenarnya UN bukan satu-satunya penentu kelulusan dan bukan satu-satunya penentu seleksi untuk masuk ke jenjang berikutnya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa UN sudah menjadi hakim untuk memvonis siswa lulus atau tidak lulus,. Juga banyak daerah menjadikan hasil UN sebagai satu-satunya penentu untuk masuk ke jenjang berikutnya, dan sudah menjadi kesalahkaprahan secara masal.
Kenyataan juga tidak bisa dipungkiri bahwa jarang (bahkan mungkin tidak ada) sekolah (Kepala Sekolah) yang berani untuk tidak meluluskan siswa kalau mata pelajaran UN lulus, tetapi mata pelajaran non UN lainnya tidak memenuhi syarat lulus. Demikian sebaliknya, tidak ada Kepala Sekolah berani meluluskan seorang siswa yang prestasi akademiknya baik, tetapi kebetulan nasibnya tidak baik sehingga mata pelajaran UN-nya tidak lulus. Kasus yang kedua ini, kadang yang membuat saya prihatin melihat murid-murid saya yang kesehariannya lumayan baik (dari akademik dan perilaku) tidak beruntung dibanding murid-murid lain yang malas dan perilakunya juga menyebalkan. Seolah-olah jerih payah mereka 3 tahun tidak berharga terhapus oleh UN yang 4 hari.
Pengalaman seorang rekan yang guru Bahasa Jawa, mungkin bisa dijadikan contoh. Rekan ini memberikan nilai akhir yang kurang dari ketuntasan minimal, kepada 2 orang siswa karena berbagai alasan: nilai akademik dan perilaku (tatakrama dan unggah ungguh) sehari-hari kurang baik, masuk sekolah juga ogah-ogahan, di beri pembelajaran remedial tidak mengikuti dan memang hasil ujian sekolahnya tidak memenuhi syarat untuk lulus.
Tapi apa mau dikata, beliau “didekati” Kepala Sekolah dan “dimohon” dengan hormat untuk “memperbaiki” nilai dengan memberikan berbagai tugas kepada siswa bersangkutan (Meskipun sebenarnya si siswa di beri tugas ya sama saja, tidak ada perubahan baik sikap maupun nilai akademiknya). Yang lebih parah lagi rekan saya tersebut mendapat cap sebagai guru “ANGEL” (sulit).
Itulah kondisi yang menurut saya membuat posisi guru menjadi dilematis, karena budaya “pembodohan” semacam ini sudah lazim terjadi. Hal ini yang menurut saya justru semakin membuat siswa “lembek” dan malas.
Pembodohan yang lain karena UN menjadi satu-satunya vonis penentu kelulusan, juga menimbulkan kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai alasan kemanusian maupun kepentingan pribadi.
Sering karena adanya kepentingan tertentu dari pihak penguasa daerah (Walikota/Bupati) untuk mengangkat “citra daerah” ada pejabat yang mengultimatum Kepala Sekolah untuk dipindah atau bahkan diberhentikan jika target kelulusan tidak tercapai. Seperti terjadi di Bekasi, Walikota akan mengevaluasi dan memindahkan kepala SMA negeri yang gagal mencapai target kelulusan 100 persen (Kompas,
Alasan kemanusiaan juga dijadikan pembenaran tindakan yang menyimpang tersebut. Kasus yang sangat mengagetkan pada UN 2008 adalah sejumlah guru di SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang digrebeg Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Sumut) karena membetulkan sejumlah jawaban UN Bahasa Inggris siswa-siswanya. Alasannya, karena kasihan jika murid-muridnya yang miskin harus berhenti sekolah, karena gagal UN (Kompas,
Melihat banyaknya kontroversi yang muncul tentang pelaksanaan UN selama ini, memang seharusnya segera diadakan evaluasi pelaksanaan UN dan mengkaji dampak positif dan negatifnya. Barangkali alternatif usulan untuk membuat soal yang berbeda-beda menurut daerah memang bisa sedikit mereduksi penyimpangan yang terjadi, karena tidak adil jika murid dengan latar belakang berbeda, kualitas guru dan fasilitas berbeda harus menghadapi soal yang sama dengan siswa yang segalanya hebat.
Barangkali lebih baik kembali