SULITNYA MENUMBUHKAN KEBERANIAN BERTANYA
Waktu saya SD atau SMP dulu kalau ada murid yang banyak bertanya kepada guru, sering murid tersebut dicap anak cerewet atau usil. Mungkin juga sampai sekarang hal itu masih banyak terjadi . Karena masih banyak juga rekan-rekan guru yang memegang teguh paradigma JADUL itu dan tidak senang dengan murid yang banyak bertanya.
Tapi bagi saya, jika ada murid saya yang bertanya justru itu suatu kebanggaan yang patut saya apresiasi. Anak yang mau bertanya, sering saya puji. Tapi sayangnya selama 12 tahun menjadi guru, dari tahun ke tahun saya selalu menghadapi kendala yang sama. Mayoritas murid-murid saya susah sekali mengajukan pertanyaan, padahal saya tahu mereka tidak tahu. Murid saya (atau barangkali murid-murid di sekolah lain) susah sekali mengungkapkan ketidaktahuannya. Entah paham atau tidak ketika saya menerangkan atau mereka mempelajari materi tertentu. Yang jelas mereka diam, masa bodoh dan cuek. Hasil ulangan jelek juga kayaknya tidak menjadi beban, atau malah tak peduli, Ini yang kadang-kadang membuat saya gemes dan geregetan.
Saya sendiri bingung, berbagai macam jurus dicoba ternyata sulit sekali bertanya apalagi menanggapi (Mungkin murid-murid sekolah lain, hal ini adalah hal sepele) Entahlah apa sebabnya, atau barangkali mereka sudah terbiasa dengan kondisi pembelajaran sebelumnya, takut mereka dicap anak cerewet atau lainnya.
Berkat pengalaman saya melakukan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) akhir-akhir ini saya sering mengubah strategi mengajar dengan tidak menjelaskan materi secara konvensional. Meski dengan ini saya harus susah payah menyiapkan lembar kegiatan sendiri. Saya coba menerapkan model pembelajaran kooperatif tanpa tipe. Saya sebut tanpa tipe karena saya tidak mau terpaku pada aturan-aturan model pembelajaran kooperatif yang lagi trend saat ini seperti STAD, JIGSAW, TGT dan lain-lain. Bukan berarti ingin melanggar aturan, namun yang terpenting bagi saya saat ini adalah membangun keberanian mereka bertanya atau berpendapat, membangun motivasi dan kepedulian mereka dulu.
Saya tidak terlalu ketat menerapkan prosedur-prosedur pada model pembelajaran kooperatif, tapi yang penting siswa enjoy belajar menemukan konsep yang dipelajari. Secara tidak langsung mereka juga belajar bekerjasama, saling berbagi dan menghargai hasil kerja teman-temannya. Sehingga mereka tidak hanya mengisi otak kirinya saja tetapi otak kanan dan hatinya.
Di akhir kegiatan mereka saya beri kesempatan presentasi secara kelompok, dan mereka sendiri memilih siapa presenter dan moderatornya juga pembagian tugas mereka yang menanggapi pertanyaan. Saya tekankan juga, meski mereka bekerja secara kelompok, namun penilaian individual tetap penting. Saya tunjukkan juga indikator-indikator apa yang menjadi poin penilaian saya.
Dan saya syukuri, ternyata waktu presentasi kelompok mereka saling berebut bertanya atau menanggapi (Meskipun mayoritas mereka asal nyeletuk, tapi yang jelas mereka sudah ada usaha). Dan usaha itu yang patut saya apresiasi.Ternyata asal diberi kesempatan mereka juga mau ada sedikit usaha. Meski usaha tersebut hanya membuahkan sedikit hasil juga.Saya katakan sedikit hasil, karena saya tidak tahu pasti hasil tes akademiknya mungkin tidak memenuhi harapan (Kepala Sekolah), tetapi paling tidak murid-murid saya paham bahwa:
Tidak tahu itu sesuatu yang wajar dan bukanlah hal yang memalukan, sehingga untuk mencari solusinya ya bertanyalah,
metode yg kreatif...bu, bisa ga dipaparkan secara detil lagi, krn terkadang kami guru emang terlalu terpaku kpd model pembelajaran kooperatif yg sdh ada yah sepeerti jigsaw, TGT, STAD, dsb nya itu walo terkadang ga cocok kl diberikan kpd siswa dg kondisi tertentu.
BalasHapusSealamat Ngeblog
BalasHapusSelamat Hari Kartini....
Salut...Ibu telah berbagi ilmu
Sukses
Selamat Menikmati Musik di Blog Arivio...I'm a teacher too
BalasHapusSucces
Apa ada cara lain dalam mengungkapkan pendapat di kelas misalnya sharing pribadi tentang suka duka belajar matematika antara siswa satu dengan siswa lainnya?
BalasHapusZaman saya dulu sekolah di smp 5 Solo kalau mengerjakan aljabar disuruh ke depan kelas tak bisa menjawab soal-soal lalu murid di sudut (berdiri di kelas pojok depan).
Kalau ingat begini aku pengin kembali ke kelas lagi mengingat masa sekolahku dulu.Belajar aljabar smp sungguh menyenangkan.Buku-buku sekolahku itu masih aku simpan di rumah Solo tintanya belum mblobor. Padahal itu terjadi di tahun 1968 s/d 1970.
Blog Ibu telah saya link dengan Judul Math From Solo
BalasHapusSilahkan ganti nama jik tak bergenan...
@Bunda Sarah:Insyaallah kapan-kapan akan saya posting bu. Memang kadang untuk siswa tertentu model-2 tsb ndak cocok dan bikin kita ribet. Saya hanya pakai pendekatan aja campur aduk, yang penting konsep nyampai, anak seneng n saya ndak pusing
BalasHapus@Pak Budi: makasih, seneng ketemu temen seprofesi lagi
@Mbak arum: Wah pasti dulu pinter matematika ya...
Saya seneng baca postingan Ibu,.... sama bu,..... saya juga terkadang seperti itu.....dasar anak-anak sekarang maunya cuman disuapi. Mungkin inilah hakekat dari kurikulum Tingkat satuan Pendidikan diterapkan dimana setiap Guru diberi keluasan untuk menerapkan metode yang sesuai dengan kondisi anak didiknya. Sukses untuk Ibu.... Saya sendiri sudah dinas 20 tahun terkadang merasa kewalahan memodifikasi model pembelajaran yang sesuai dengan tingkat pemahaman siswa. Saya teringat waktu belajar filsafat pendidikan, bahwa siswa dapat dikategorikan atas 4 tipe :
BalasHapus1. Siswa yang tahu apa yang dia tahu (Jarang).
2. Siswa yang tahu apa yang dia tidak tahu (Idealnya seperti ini, supaya siswa cenderung untuk bertanya)
3. Siswa yang tidak tahu apa yang dia tahu (butuh bimbingan guru untuk mengarahkan).
4. Siswa yang tidak tahu apa yang dia tidak tahu (tipe inilah yang banyak kita temui, yang menuntut kita untuk lebih bekerja ekstra dalam menumbuhkan motivasi belajarnya).
Sekali lagi,.. sukses untuk ibu, postingan ini amat bagus untuk dijadikan bahan PTK.
Sekian dulu .... sementara Ujian Nasional berlangsung nih. Thanks.
Benar sekali pak apa yang Bapak sampaikan... Saya yakin banyk guru yang merasakan hal yang sama, apalagi model siswa kayak sekolah saya... mereka sudah terkelompok di komunitas dengan bekal akademik dan ekonomi pas-pasan karena terjaring PSB online. Sehingga motivasi mereka juga kurang...
BalasHapusTerimakasih masukan-masukannya.
iya ya kenapa mau nanya aja kadang takut?
BalasHapusIbu guru, sekarang saya ndak tau apa yang mau saya tanyain. Ini tipe yang mana bu ya.. tipe kehabisan pertanyaan atau menghabiskan pertanyaan..
BalasHapusSelamat Hari Kartini ,Ibu Mulyatie...
BalasHapusThanks infonya...
Mampir Ke Blogku ya Bu...
Numpang Lewat
BalasHapusAku setuju dgn segitiga emas: otak kiri, otak kanan dan hati. Karena terbukti bhw saat anak2 itu lulus dr bangku sekolah dan kuliah, lalu memasuki dunia nyata, justru otak kanan dan hati itulah yg banyak mempengaruhi berhasil atau tidaknya mereka. Tentu saja otak kiri masih perlu...
BalasHapusbu,secara ndak sengaja saya buka blog-nya ibu.Saya jadi ingat,memang kadang kita juga kesel banget kalo anak tuh pasif banget.Sudah nyoba berbagai macam metode kok gak ada pengaruhnya juga,jadinya malah kehabisan waktu.Makanya kadang terus terang aja bu,saya males nyoba2 toh yang repot juga kita sendiri.Kedengarannya pesimis banget ya bu?Tolong dong bu bagi pengalamannya.Thanks.
BalasHapus